1. Apa itu Etika?
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat akhlak, watak, perasaan, sikap cara berpikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adalah adat kebiasaan. Arti inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah “etika” oleh Aristoteles (384-322 sM): ilmu tentang adat kebiasaan, apa yang biasa dilakukan.
Etika
mempunyai pengertian yang cukup dekat dengan moral. Moral dari bahasa
latin mos jamaknya mores berarti kebiasaan, adat. Dalam kamus bahasa
Indonesia pertama kali tahun 1988 kata mores dipakai dalam arti yang
sama yakni adat kebiasaan. Jadi kata moral dan etika keduanya berasal
dari kata yang berarti adat kebiasaan. Setelah mempelajari
asal-usulnya, sekarang kita menyimak artinya. Kata etika ada perbedaan
yang mencolok, jika membandingkan dengan kamus bahasa Indonesia lama
(Poerwadarminta, 1953) dan baru (1988). Perbedaan itu ialah etika
dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral),
sedangkan dalam kamus baru etika dijelaskan dengan membedakan tiga hal:
Ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Kumpulan asas atau nilai yang berhubungan dengan
akhlak. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Definisi etika tersebut di ataslah yang digunakan untuk
menjelaskan pelbagi kata yang mengikutinya seperti: etika bisnis, etika
kedokteran, etika pergaulan. Lebih jauh dari pengertian etika di atas,
ada istilah lain yang sering dicampuradukkan begitu saja dengan kata
etika yaitu etiket. Arti kata etika berbeda sekali dengan etiket. Etika
di sini berarti moral dan etiket berarti sopan-santun. Etiket
menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia sebagai
nilai umum yang diakui dan diterima. Misalnya jika saya menyerahkan
sesuatu kepada Guru atau orang yang saya hormati, saya harus
menyerahkannya dengan tangan kanan. Jika saya mau kencing maka saya
harus pergi ke ke wc/toilet, bukan di tembok kelas atau di pohon
kamboja. Jika saya tidak melakukan hal itu atau bertentangan maka saya
bisa dikatakan melanggar etiket. sedangkan etika memberikan norma dari
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Jadi etika menyangkut
masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Misalnya:
mengambil barang milik orang lain tanpa ijin tidak pernah
diperbolehkan, “jangan mencuri” adalah merupakan suatu norma etika.
Apakah orng itu mencuri dengan tangan kiri atau kanan sama sekali tidak
relevan. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang
lain hadir atau tidak ada saksi mata maka etiket tidak berlaku.
Misalnya ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara kita makan.
Dianggap melanggar etiket bila kita makan sambil berbunyi atau dengan
meletakkan kaki di atas meja. Oleh karena itu, tema kita bukan etika
pergaulan remaja melainkan etiket pergaulan karena menyangkut cara
suatu perbuatan kita sebagai remaja dalam bergaul dengan sesama.
2. Hati Nurani Hati Nurani,
2. Hati Nurani Hati Nurani,
Berkaitan
erat dengan norma untuk menilai baik atau buruk berhubungan dengan
tingkah laku konkret kita. Hati nurani memerintahkan atau melarang kita
untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Hati nurani berkaitan erat
dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk hal ini kita
perlu mengerti dua hal: pengenalan dan kesadaran. 1. Pengenalan. Kita
mengenal, bila kita melihat, mendengar atau merasa sesuatu. Tapi
pengenalan ini tidak monopoli manusia, seekor binatang pun bisa
mengenal dengan mendengar atau merasakan bau. 2. Kesadaran. Kesadaran
hanya dimiliki oleh manusia. Dengan kesadaran manusia sanggup untuk
mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang diri
sendiri. Dalam diri manusia bisa berkangsung semacam “penggandaan”: ia
bisa kembali kepada dirinya sendiri. Kesadaran dalam bahasa latin
dipakai kata “conscientia” (scire = mengetahui, con = dengan, turut,
coscientia = turut mengetahui).
3. Hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif
3. Hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif
Hati
nurani retrospektif memeberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan
yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan
menoleh kebelakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia
menyatakan bahwa perbuatan itu baik atau tidak. Hati nurani
retrospektif membuat keputusan bahwa perbuatan kita jelek atau
sebaliknya memuji atau memberi rasa puas. Bila hati nurani menuduh dan
menghukum diri kita maka kita merasa gelisah dalam batin atau seperti
dikatakan dalam bahasa Inggris: a bad conscience. Sebaliknya, bila kita
bertingkah laku dengan baik kita mempunyai a good conscience atau a
clear conscience. Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan
menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam
arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali
lebih banyak terjadi mengatakan jangan dan melarang untuk melakukan
sesuatu. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam
ramalan.
4. Hati nurani bersifat personal dana adipersonal
4. Hati nurani bersifat personal dana adipersonal
Hati
nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan dengan pribadi
bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup
sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga
dalam ucapan-ucapan hati nurani saya. Tidak ada dua manusia yang sama
dan sekaligus memiliki hati nurani yang persis sama. Hati nurani
diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani berkembang bersama dengan
perkembangan seluruh kepribadian kita. Di samping aspek personal hati
nurani bersifa adipersonal. Hati nurani seolah-olah di atas pribadi
kita, merupakan instansi di atas kita. Hal itu dimengerti dengan
melihat kata hati nurani sendiri. “hati nurani” berarti hati yang
diterangi (nur=cahaya). Aspek lain juga sering dipakai dalam bahasa
Indonesia untuk menunjukkan hati nurani: suara hati, kata hati, suara
batin. Terhadap hati nurani, kita seakan-akan membuka diri terhadap
suara yang datang dari luar. Hati nurani mempunyai suatu aspek
transenden, artinya melebihi pribadi kita. Karena aspek adipersonal itu
orang beragama beranggapan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau
Tuhan berbicara melalui hati nurani.
5. Hati nurani sebagai norma moral yang subyektif
5. Hati nurani sebagai norma moral yang subyektif
Mengikuti
hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada
orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani
seseorang. Tidak boleh terjadi bahwa seorang dipaksa untuk bertindak
bertentangan dengan hati nuraninya. Maka ada deklarasi universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebut juga hak atas kebebasan
hati nurani (pasal 18). Konsekuensinya bahwa negara harus menghormati
putusan hati nurani para warganya. Dengan kata lain negara harus
menghormati hak dari conscientious objector. Contoh negara yang
mempratekkan wajib militer bagi orang muda. di Hati nurani mempunyai
kedudukan yang kuat dalam hidup moral kita. Di pandang dari sudut
subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan
kita. Atau putusan hati nurani adalah norma moral yang subyektif bagi
tingkah laku kita.
6. Pembinaan hati nurani
6. Pembinaan hati nurani
Hati
nurani harus dididik, seperti juga akal budi manusia membutuhkan
pendidikan. Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk
dijalankan. Metode-metode yang seharusnya digunakan untuk mencapai
hasil optimal dalam mendidik akal budi jauh lebih jelas. Seperti
misalnya pendidikan di sekolah bertujuan untuk mengembangkan dan
mendidik akal budi anak-anak. Dalam diri anak akal budi terintegrasi
engan seluruh kepribadiannya. Pendidikan hati nurani bersama dengan
seluruh pendidikan moral jauh lebih kompleks sifatnya. Tempat yang baik
untuk pendidikan hati nurani adalah di dalam keluarga. Sejak kecil anak
dilatih untuk menyesuaikan diri secara lahiriah dengan kehendak
pendidiknya (orang tua). Tujuan pendidikan adalah menanamkan kepekaan
batin terhadap yang baik kepada anak didik. Iklim pebinaan hati nurani
hendaknya diliputi dengan suasan moral yang menunjang dalam keluarga.
Pembinaan hati nurani berlangsung dalam suasana informal dalam keluarga
bukan dalam pendidikan sekolah.
7. Nilai dan Norma
7. Nilai dan Norma
Tidak
mudah menjelaskan apa itu nilai? Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa
nilai itu sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari,
sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan,
singkatnya sesuatu yang baik. Nilai (value) selalu mempunyai konotasi
positif. Menurut filsuf Jerman- Amerika, Hans Jonas, nilai adalah “the
address of a yes”: sesuatu yang ditujukan dengan “ya” kita. Sebaliknya
sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang negatif seperti penderitaan,
penyakit atau kematian adalah lawan nilai= non nilai atau disvalue.
Berdasarkan analisis sederhana dapat kita simpulkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini: Nilai berkaitan
dengan subyek. Nilai tampil dalam suatu konteks yang praktis. Nilai
menyangkut sesuatu yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat yang
dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya
sendiri. Sedangkan kata norma dari bahasa Latin arti kata pertama
berarti carpenter’s square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk
mencek apakah benda yang dikerjakan (meja, bangku, kursi)
sungguh-sungguh lurus? Maka dengan norma dimaksudkan aturan atau kaidah
yang kita pakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.
http://suryah90105.blogspot.com/2009/05/etika-pergaulan-remaja.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar